Thursday, October 6, 2011

Tuesday, May 17, 2011

Mimpi yang Aneh

Aku bermimpi terjebak dalam satu masyarakat yang hidupnya sulit. Dunianya dikepung air yang setiap kali mengancam. Aku berada di situ dalam pengaruh sugesti seolah suatu persyaratan yang harus kulalui berkaitan dengan dinas.

Banyak teman dinas yang mengetahui aku berada di dunia itu, tetapi mereka tak ada yang ikut di dalamnya dan memberitahuku bahwa kegiatan itu tidak wajib. Aku menjadi sadar bahwa sesungguhnya berada di situ bukan suatu keharusan dinas. Maka akupun berusaha keluar dari dunia aneh itu yang mana masyarakatnya hidup jorok dan kotor bukan kepalang. Tapi celakanya, aku terlanjur disukai oleh masyarakat itu. Aku diperlakukan dengan sangat baik dan istimewa. Sehingga mereka mati-matian mencegahku keluar dari dunia mereka. Mereka lebih baik membunuhku atau terbunuh daripada aku lari ke tempat lain. Akupun dilukai oleh orang yang paling berani di situ. Dalam keadaan luka aku berlari menuju ke luar dunia masyarakat itu tapi terus dikejar. Karena yang mengejar ini bisa mendapatkan aku maka dia melemparkan senjatanya ke arahku tetapi meleset. Menyadari ada senjata dekat denganku, aku ambil dan kulempar balik ke arah si pelempar dan kena. Senjata itu nancap di paha atasnya bagian dalam. Tapi ternyata orang itu masih mampu mengejarku dan .. Aku terbangun dari tidur, hampir pukul 4 pagi. Alhamdulillah itu hanya sebuah mimpi.

Mimpi itu terjadi tadi pagi, sebelum pukul 4, hari Rabu tanggal 18 Mei 2011. Ketika berusaha mulai tidur, sengaja kamar kugelapkan. Aku sempat mendengar dentangan jam 12 kali dari tengah rumah. Mulutku mencoba menuntaskan ayat kursi meski terasa berat sekali, seperti biasa ketika tidur kumulai.

Apa sesungguhnya takwil mimpi itu ? Mengingat waktu terjadi mimpinya adalah waktu bermakna. Fikiranku mereka-reka takwil sendiri tapi akhirnya kutepis daripada terjebak tahayul mimpi. Hanya Alloh Subhanahu Wata’ala yang tahu artinya. Biarlah aku menjalani apapun yang mesti terjadi.

Segera kutulis pada kesempatan pertama, mumpung masih hangat dan ingat.

Jakarta, 18 Mei 2011

Tuesday, May 10, 2011

Angka Oktan pada Bensin

Angka oktan pada BBM, premium 88, pertamax 92 dan pertamax plus 95.

Nama oktan berasal dari oktana (C8), karena dari seluruh molekul penyusun bensin, oktana yang memiliki sifat kompresi paling bagus. Oktana dapat dikompres sampai volume kecil tanpa mengalami pembakaran spontan, tidak seperti yang terjadi pada heptana, misalnya, yang dapat terbakar spontan meskipun baru ditekan sedikit.

Oktan adalah angka yang menunjukkan berapa besar tekanan maksimum yang bisa diberikan di dalam mesin sebelum bensin terbakar secara spontan. Di dalam mesin, campuran bensin dan udara (berbentuk gas) bisa terbakar sendiri secara spontan sebelum terkena percikan api dari busi.
Jadi, semakin tinggi angka oktannya, semakin lama bensin itu terbakar spontan. Pembakaran spontan ini menimbulkan ketukan di dalam mesin yang biasa disebut gejala ngelitik atau knocking. Pembakaran spontan ini sebisa mungkin dihindari dengan angka oktan yang tinggi. Jika masih menggunakan premium yang beroktan 88, maka mesin akan ngelitik atau knocking.

Tips untuk memilih BBM yang baik untuk kendaraan kita adalah penggunaan angka oktan yang harus sesuai dengan tekanan kompresi kendaraan kita. Semakin tinggi kompresinya maka sebaiknya menggunakan BBM berangka oktan tinggi. Untuk kendaraan berkompresi dibawah 9:1 masih dapat menggunakan premium namun untuk kendaraan dengan kompresi 9,1:1 sampai 10:1 sebaiknya menggunakan pertamax atau sejenisnya dan kendaraan dengan kompresi 10,1 keatas sebaiknya menggunakan pertamax plus atau sejenisnya. Apabila penggunaan kadar oktan tidak sesuai maka dapat menyebabkan piston menjadi bolong contohnya jika mobil keluaran tahun 2000 menggunakan oktan 88? Yang jelas piston menjadi bolong.

Bensin oktan 92 dikenal dengan nama Pertamax (produksi Pertamina), Super (produksi Shell), dan Primax (produksi Petronas). Sedangkan bensin oktan 95 biasa disebut Pertamax Plus (Pertamina), Super Extra (Shell), dan Primax95 (Petronas).Biasanya angka oktan rekomendasi pabrik ini dicantumkan dalam buku manual maupun di dekat tutup tangki bensin mobil.

Struktur bensin yang baik adalah dengan komposisi n-heptana 0% dan iso-oktana 100%, n-heptana adalah rantai karbon lurus sedangakn iso-oktana adalah rantai karbon bercabang. Apabila struktur suatu BBM lebih banyak rantai bercabangnya maka bensin tersebut lebih sulit untuk terbakar dan dikategorikan dalam bensin bermutu baik sebaliknya bila komposisinya lebih banyak rantai karbon lurusnya maka bensin tersebut bermutu kurang baik.

Angka oktan bisa ditingkatkan dengan menambahkan zat aditif bensin. Menambahkan tetraethyl lead (TEL, Pb(C2H5)4) pada bensin akan meningkatkan bilangan oktan bensin tersebut, sehingga bensin "murah" dapat digunakan dan aman untuk mesin dengan menambahkan timbal ini. Untuk mengubah Pb dari bentuk padat menjadi gas pada bensin yang mengandung TEL dibutuhkan etilen bromida (C2H5Br). Celakanya, lapisan tipis timbal terbentuk pada atmosfer dan membahayakan makhluk hidup, termasuk manusia. Di negara-negara maju, timbal sudah dilarang untuk dipakai sebagai bahan campuran bensin.

Zat tambahan lainnya yang sering dicampurkan ke dalam bensin adalah MTBE (methyl tertiary butyl ether, C5H11O), yang berasal dan dibuat dari etanol. MTBE murni berbilangan setara oktan 118. Selain dapat meningkatkan bilangan oktan, MTBE juga dapat menambahkan oksigen pada campuran gas di dalam mesin, sehingga akan mengurangi pembakaran tidak sempurna bensin yang menghasilkan gas CO. Belakangan diketahui bahwa MTBE ini juga berbahaya bagi lingkungan karena mempunyai sifat karsinogenik dan mudah bercampur dengan air, sehingga jika terjadi kebocoran pada tempat-tempat penampungan bensin (misalnya di pompa bensin) MTBE masuk ke air tanah bisa mencemari sumur dan sumber-sumber air minum lainnya.

Bensin beroktan tinggi pada mobil yang memiliki spesifikasi oktan di atas 90 membuat konsumsi bahan bakar lebih irit. Ini disebabkan bensin lebih lama terbakar sehingga mesin bisa efisien. Dengan sedikit bahan bakar, bisa menghasilkan tenaga yang banyak, inilah kenapa bila memakai bensin dengan oktan tinggi menjadi lebih irit.

Pengukuran angka oktan dilakukan dengan membandingkan kemampuan mencegah ngelitik antara suatu jenis bensin dengan campuran kimia antara senyawa isooktan dan n-heptan. Bensin beroktan 88, misalnya, berarti memiliki kemampuan mencegah ngelitik sama dengan campuran yang terdiri atas 88 persen isooktan dan 12 persen n-heptane.
Ada dua kategori angka oktan ini, yakni RON (research octane number) dan MON (motor octane number). RON diperoleh dari simulasi kinerja bahan bakar saat mesin dioperasikan dalam kondisi standar, sementara MON menunjukkan kinerja bahan bakar saat mesin dioperasikan dalam kondisi lebih berat. Angka oktan MON bisa 10 poin lebih rendah dibandingkan angka oktan RON. Angka oktan yang kita lihat di belakang nama produk bensin di SPBU adalah RON. Pengecualian di pasar Amerika Serikat, angka yang tertera di SPBU adalah nilai rata-rata dari RON dan MON, sehingga lebih rendah dibandingkan oktan yang tertera di negara-negara lain.


Proses Pembakaran BBM di Dalam Mesin

Seperti manusia, mesin juga bisa melakukan protes bila layanan dan perlakuan yang diberikan pemiliknya tidak layak. Salah satu contoh yang sering terjadi adalah penggunaan jenis bahan bakar. Pada bahasan ini, dikhususkan untuk mesin bensin.

Kalau bahan bakar yang digunakan tidak sesuai dengan standar yang telah ditentukan, mesin juga bisa sakit perut. Kinerjanya tidak lancar dan nantinya bisa sakit-sakitan. Kondisinya tentu saja lebih parah lagi bila kondisi bahan bakar tercemar!Contohnya adalah penggunaan bensin premium untuk mesin-mesin dengan perbandingan kompresi tinggi, yaitu di atas 9,5: 1. Padahal mesin-mesin sekarang, agar efisisien, perbandingan kompresi tinggi. Beberapa mobil yang dipasarkan di Indonesia malah ada yang mencapai 11: 1

Mesin dengan perbandingan kompresi tinggi tidak bisa bekerja dengan baik bila diberi premium. Kalaupun dipaksa - meski tetap bekerja - kemampuannya menghasilkan tenaga tidak maksimal. Saat digeber, tidak bisa lari. Ini tandanya mesin protes!

Susah Disulut- Di tanah air, disediakan tiga jenis bensin yang dibedakan berdasarkan nilai oktan. Masing-masing: premium (88), Pertamax Biru (92) dan Pertamax Plus (95). Merek lain seperti Shell memberi label produknya dengan Super (92) dan Super Extra (95). Semakin tinggi oktan bensin, makin mahal harganya.

Faktor harga tersebutlah yang menyebabkan pengguna mobil lebih memilih premium. Apalagi bila harga diturunkan lagi. Perbedaan harga yang makin besar membuat pemilik mobil makin tergoda beralih ke premium. Pasalnya, mereka memperoleh keuntungan biaya operasional yang makin murah. Namun korbannya adalah mesin dan lingkungan.

Dengan nilai oktan lebih rendah, premium lebih sensitif atau mudah mengalami gejala yang disebut “menembak”. Bahasa kerennya, “auto-ignition” atau pembakaran terjadi dengan sendirinya. Padahal pembakaran harus dipicu oleh bunga api yang dipercikan oleh busi. Waktunya pun telah ditentukan (ignition timing).

Bilangan oktan adalah indikator bensin “tidak mudah terbakar dengan sendirinya”. Makin tinggi bilangan oktan, semakin tinggi kemampuannya melawan godaan untuk terbakar sendiri. Sebaliknya, makin rendah oktannya, gampang tersulut dan terbakar tanpa harus “dikompori” busi.

Efisiensi -Untuk sebuah mesin yang mampu bekerja dengan efisiensi tinggi, yang diperlukan bukan bahan bakar yang mudah terbakar pada suhu lebih rendah. Tetapi bahan bakar yang menghasilkan ledakan besar pada suhu lebih tinggi dan terjadi dalam waktu singkat alias spontan.

Efisiensi yang lebih tinggi hanya diperoleh dengan membuat perbandingan kompresi mesin juga tinggi. Untuk mesin bensin, paling tinggi dibatasi 12: 1. Namun yang umum digunakan saat ini, terutama setelah maraknya teknologi injeksi yang bekerja secara elektronik adalah 9,5 – 11 : 1.

Pada mesin-mesin lama yang masih menggunakan karburator, hubungan antara perbandingan kompresi dengan nilai oktan tidak bisa ditawar (lihat tabel). Sedangkan pada mesin dengan sistem injeksi berdasarkan penelitian masih bisa menggunakan nilai oktan yang lebih rendah berkisar 5-7 poin. Misalnya, perbandingan kompresi 10: 1, masih bisa menggunakan bensin 95 atau 92.

Disamping itu, mesin dengan sistem injeksi sudah dilengkapi dengan “knock sensor” atau sensor gejala menembak. Bila terjadi gejala menembak, komputer akan mengatur waktu pengapian secara otomatis. Komputer mengubah jadwal busi memicu api lebih cepat atau memajukannya. Kalau tidak ada gejala menembak, komputer akan mengembalikannnya ke kondisi semula.

Merusak Mesin -Gejala menembak atau auto-igniton sangat berbahaya bagi kesehatan mesin. Selain kemampuannya menghasilkan tenaga tidak maksimal, kemungkinan organ utama mesin mengalami kerusakan dini lebih besar.Kalau sudah begini, tentu saja daya tahan atau umur pakainya jadi pendek. Bahkan, kalau pun harus harus diperbaiki dan beberapa komponen ditransplantasi, biaya perawatannya justru membengkak. Kemungkinan lain mogok!

Organ utama mesin yang sering kena sasaran tembak “auto ignition” adalah piston (puncaknya berlubang ) atau setangnya (bengkok). Karena getaran yang ditimbulkan besar, kerusakan lain yang bisa terjadi adalah keuasan pada dinding piston dan silinder.

Bensin di dalam mesin mengalami “auto ignition” karena terbakar bakar pada suhu lebih rendah. Saat piston memampatkan udara dan bahan bakar (bergerak menunju titik mati atas atau TMA) di dalam mesin, mengakibatkan suhu udara naik dan tinggi. Suhu tinggi itulah yang menyebabkan bensin terbakar.

Kalau bahan bakar mudah terbakar pada suhu lebih rendah, dengan sendiri akan terbakar tanpa harus disulut oleh busi. Pembakaran seperti itu menimbulkan ledakan kuat dan tidak bisa dikontrol. Kondisi itulah yang merusak piston.

Di samping itu, karena ledakan terjadi sangat kuat, sebelum piston mencapai TMA sudah harus dipaksa kembali ke bawah atau titi mati bawah (TMA). Akibatnya, kerja mesin jadi tidak mulus atau “mbrebet”.

Lebih parah lagi, setelah bensin terbakar dengan sendirinya, busi juga membakar bahan bakar di sekitarnya. Timbul lagi ledakan! Keduanya saling bertabrakan. Daya rusaknya pun makin besar!Mesin Lama - Peluang terjadinya gejala menembak juga sangat besar pada mesin lama. Terutama bila ruang bakar sudah dipenuhi kerak atau arang. Kerak yang menumpuk di puncak piston dan kepala silinder, menyebabkan kompresi menjadi tinggi. Di samping itu, saat suhu tinggi, arang tersebut juga akan membara dan merupaka pemicu tambahan terjadi gejala menembak atau detonasi.

Kerak menumpuk di ruang bakar karena proses pembakaran berlangsung tidak sempurna. Di samping itu, bisa pula karena komponen mesin, seperti ring piston atau piston, sil katup aus. Akibatnya, oli masuk ke mesin dan lama-lama membentuk kerak. Kemungkinan lain, campuran terlalu kaya, busi kotor dan tidak memercikan api dengan optimal.

Sebagai informasi, semakin tinggi suatu tempat, kebutuhan terhadap oktan justru turun. Setiap perubahan ketinggian 300 meter, kebutuhan nilai oktan turun satu poin.

Bensin berkualitas di Amerika Serikat sekarang ini tidak hanya ditentukan berdasarkan pada nilai oktan. Unsur lainnya adalah kandungan deterjen. Bila kandungan deterjen melebihi takaran minimal yang telah ditentukan EPA (Environmental Protection Agency), bensin itu disebut Top Tier.

Tabel hubungan antara perbandingan kompresi dengan kebutuhan nilai oktan bensin.

Kompresi

Oktan

5 : 1

72

6 : 1

81

7 : 1

87

8 : 1

92

9 : 1

96

10 : 1

100

11 : 1

104

12 : 1

108


-----------dikutip dari www.mobilku.com----------

Monday, May 9, 2011

Agar Mobil Tetap Sehat Setelah Ratusan Km

Berapa angka di odometer mobil anda? Sebuah Honda Civic keluaran tahun 1995 yang dijual lewat iklan baris online Craigslist menyebutkan angka fantastis 939,899 mil (1,503,838.4km). Itu artinya setiap hari selama 12 tahun mobil ini jalan lebih dari 200mil (320km)! Kira-kira setiap hari bolak-balik BandungJakarta.

Menurut pemiliknya -yang menjual mobil ini di Atlanta, USA, mobil ini masih seperti baru, tidak ada yang bocor, tidak adan deru berisik, dan oli yang ikut terbakar di mesin. Bahkan tidak ada goresan di body. Satu-satunya masalah adalah lampu dashboard yang kadang-kadang mati.

Saat ini sedan itu menggunakan timing belt ke-sembilan, water pump ke-sembilan dan sudah tiga kali ganti kopling. Mesin dan transmisi masih orisinil, demikian pula floor mats. Menurut pemiliknya, dia secara reguler mengganti oli mesin setiap 2500 mil dan memiliki catatan lengkap sejarah perawatan mobilnya.

Menurut ConsumerReports ada beberapa langkah yang bisa dilakukan agar mobil awet muda.

Langkah pertama adalah membeli mobil yang memiliki reputasi baik. Selanjutnya, merawat mobil itu berpedoman buku manual pemilik dan menepati jadwal perawatan berkala yang sudah ditentukan produsen mobil. Tidak disiplin mentaati jadwal itu sama dengan mempercepat kerusakan dan memperpendek umur.

Perawatan berkala itu termasuk penggantian parts dan fluids. Seperti berapa kali dan dengan interval berapa km oli mesin diganti, juga pelumas transmisi, minyak rem, juga radiator coolant. Juga kapan ban harus dirotasi.

Jika ingin mobil berumur panjang, tengok juga jenis perawatan berkala untuk extreme use pada buku manual. Yang perlu mempertimbangkan perawatan jenis ini adalah kendaraan yang biasa dipakai dikota-kota besar, iklim panas, dekat pantai, menarik trailer atau biasa dipakai dikawasan berdebu. Perbedaan antara reguler maintenance dan extreme-use bisa sangat signifikan. Misal interval penggantia pelumas yang lebih pendek, demikian pula interval penggantian komponen lain.

Namun ConsumerReports mengingatkan jangan terjebak pada over-maintaining yang boros uang. Bengkel yang 'nakal' menawarkan item perawatan/pemeriksaan diluar apa yang tertulis di buku manual lalu membebani dengan ongkos yang mahal.

Bila harus mengganti parts ataupun fluids, gunakan sesuai spesifikasi pabrik pembuat mobil. Contoh pelumas transmisi yang tidak jelas, mungkin harganya lebih murah, tapi memicu kerusakan sistem gearbox yang harganya jutaan dan ongkos reparasinya mahal. Bila produsen mobil mensyaratan penggunaan oli sintetis -yang lebih mahal dari oli mineral-, maka itu harus dituruti. Biasanya oli ini dipakai untuk mobil berkarakter sport. Namun oli mineral sudah memadai untuk kebanyakan mobil.

Bila mobil anda dirancang untuk menggunakan premium, menggunakan bahan bakar dengan oktan lebih tinggi yang mahal sama saja dengan pemborosan. Tapi bila buku manual menyebutkan penggunakan bahan bakar beroktan tinggi, maka mengisinya dengan premium akan membuat peformanya jatuh.

Rekomendasi lain, jaga kebersihan mobil! Membersihkan secara berkala interior maupun eksterior menjadikan mobil lebih menyenangkan. Menyedot debu dan pasir dari karpet dan kursi mengurangi resiko keausan dini penyebab robek. Rajin mencuci dan waxing membuat cat lebih terpelihara.

Menurut ConsumerReports, problem bisa terjadi kapan saja dan penyebabnya bisa apa saja. Karena itu biasakan untuk membuka kap mesin, meneliti, mendengarkan dan mencium sesuatu yang tidak wajar. Periksa juga kondisi fluids, mereka bisa memberi petunjuk apa yang terjadi didalam mesin atau transmisi. Contohnya. bila pelumas transmisi tercium seperti terbakar ketika menarik dipstick atau terasa kasar/berbutir, itu pertanda ada mulai ada kerusakan didalamnya. Deteksi dini akan mengurangi biaya reparasi dan memperpanjang umur.

Tapi tiba juga saatnya harus berpisah. Yaitu:
1. Jika biaya reparasinya lebih mahal dari harga mobil itu.
2. Kekuatan struktur mobil terancam oleh karat yang sangat parah
3. Meskipun sudah diperbaiki, tapi mobil sudah tidak bisa dihandalkan lagi
4. Pernah terendam banjir atau mengalami tabrakan berat.

-------dikutip dari www.mobilku.com ------

Thursday, February 26, 2009

Masuk SMA

Kelas I SMA adalah masa orientasi yang cukup berat bagiku. Aku anak kampung yang juga kampungan. Maklum, sebelumnya aku sekolah di kampung. Namanya juga sekolah di kampung, temannya juga semuanya orang kampung. Tapi sebagiamana umumnya, orang kampung tak pernah merasa kampungan. Hanya orang kotalah yang menjulukinya. Orang kampung dikatakan kampungan karena mereka tertinggal dalam banyak hal, termasuk dalam kebobrokan moral. Supaya dikatakan kotaan, orang kampung akhirnya meniru apa yang ada di kota. Tapi cilakanya yang ditiru biasanya adalah gayanya dan kebobrokannya bukannya belajar bagaimana orang kota menjadi pandai dan bagaimana orang kota bisa maju.

Terpuruk
Tak perlu banyak menghafal atau berkutat dengan buku, di SMP yang kini gedungnya sudah tiada, aku selalu menjadi juara kelas yang sekaligus juara umum, karena masing-masing hanya terdiri dari satu kelas. Orang kampung menyebutnya bintang pelajar. Duh bangganya dengan julukan itu ? Meski ya, tapi di lubuk hatiku yang terdalam, terselip rasa tidak puas, tidak bangga. Aku merasa diriku ini tidak pandai, tidak pintar, dan tidak pantas menyandang juara atau bintang pelajar. Aku merasa otak ini belum ada isinya, belum ada ilmunya dan belum disuruh bekerja untuk belajar dengan keras. Tapi kenapa harus juara ? Itulah bedanya sekolah di kampung dengan di kota. Sejak SD pun aku terbiasa juara tanpa harus bersusah payah belajar. Cukup mengandalkan daya tangkap di kelas. Keluar dari kelas, main dan main. Happy dan happy, tak ada beban. Pulang sekolah kadang langsung berenang ke sungai atau bermain ke mana saja sampai lelah baru pulang. Buku kadang hanya di selip dipunggung atau ditinggal di kelas.
Tapi kebiasaan lama itu membuat aku terperangah ketika memulai masa-masa SMA. Aku tak punya dasar matematika yang kuat. Logika eksaktaku lemah karena dasarnya buruk. Aku mengahadapi kebingungan, kenapa aku tak kunjung mengerti sementara yang lain asyik-asyik saja. Tentu saja ini karena aku terbiasa dengan santai semuanya dapat. Dengan santai saja nilaiku pasti paling tinggi di kelas.Aku panik. Dan puncak kepanikanku ketika raport bayangan sebelum penjurusan nilainya sangat buruk. Matematika nilainya 5, Fisika nilainya 4 dan yang lain bergerak di 6 dan 7. Padahal aku ingin ke IPA sebagaimana ajakan teman-temanku.
Ketika rapot penjurusan diterima, kulihat bagian bawah rapot, rangkingku 18,5 dari 55 siswa. Rangking itu masih kuingat sampai saat ini. Memang aku masuk IPA tapi aku kecewa berat dengan diriku. Aku bengong dan bingung. Mana bintang pelajar itu ? Hatiku teriris dan malu sekali. Tentu saja aku tak akan berani memberitahukan kepada orangtuaku nilai yang memalukan itu. Apa yang harus kulakukan ? Aku gemetar beberapa saat. Salah tingkah dan benar-benar tak mau menerima kenyataan. Bagaimana mungkin ini terjadi ? Aku yang biasa duduk di rangking satu dengan mudah, sedangkan ini dengan susah payahpun hanya berada di rangking yang sama sekali tak bergengsi. Rangking delapan belas setengah ! Ya, 18,5. Aku tak mau orangtuaku mengetahui, tapi harus bagaimana ? Mereka pasti tahu karena aku memerlukan tandatangannya. Dan akupun mereka-reka apa yang akan kukatakan. Untungnya orangtuaku tak begitu memperdulikan dan tak mengerti. Ya, mereka memang bukan orang-orang yang pernah sekolah. Hanya sampai SR, semacam SD jaman baheula. Aku terpuruk.


Optimis
Waktu berlalu, dengan bangga namun cemas akhirnya aku duduk juga di jurusan yang katanya bergengsi, kelas I IPA1. Kumulai langkah-langkah awal dengan tekad “harus bisa ! “. Aku pasti bisa seperti orang lain. Aku tak berambisi menjadi juara kelas seperti ketika SD atau SMP. Hati kecilku sudah mengatakan, tahu dirilah kamu untuk berharap jadi juara seperti dulu. Kamu memang kalah ! Tapi aku berkeyakinan aku tidak bodoh.
Aku mulai introspeksi, aku sadar kalau aku terlalu menganggap remeh semua pelajaran. Aku terlalu terbiasa dengan tanpa serius bisa juara. Aku harus berubah dan mengubah caraku belajar. Aku yakin aku bisa. Optimis, itu kuncinya.
Aku mulai belajar dengan cara baru. Aku tak terus diam jika aku tak mengerti. Aku bertanya pada teman yang kuanggap bisa jika aku malu bertanya kepada guru. Aku melawan kemalasan mencatat dengan mencatat setiap hal penting. Aku peras otakku sampai panas sebelum aku mengerti pola dasar untuk memahami fisika, matematika dan kimia. Aku berprinsip, sebodoh-bodohnya aku, tak ingin aku tak naik kelas atau berada di rangking tengah sekalipun. Aku harus serius belajar. Ini kelas IPA dan teman-teman yang berada di dalamnya pun pasti sudah pilihan. Aku tak ingin menjadi rangking penutup. Aku malu pada diriku yang pernah disebut-sebut bintang pelajar oleh orang kampungku dulu. Akan kubuktikan ! Begitu tekadku.
Perlahan namun berjalan, dari waktu ke waktu aku merasakan ada kemajuan. Aku mulai mengerti pola fikir memahami fisika, matematika dan kimia. Lama-lama semuanya terasa menjadi ringan. Aku semakin yakin kalau aku bisa seperti teman yang lain, berani maju mengerjakan soal di papan tulis dengan penuh percaya diri. Aku selalu ingin, akulah yang duluan bisa ! Inilah kurasa mental juara yang tersisa.
Tibalah saatnya kenaikan kelas. Kecemasanku berkurang akan ketakutan tak naik kelas. Keyakinan diriku sudah tumbuh kembali untuk menerima rapot. Tidak sia-sia usahaku, kali ini rangkingku tak terlalu buruk. Aku naik ke kelas II dengan rangking tiga. Lompatan yang membanggakan bagiku. Aku semakin yakin, aku bisa terus maju bersama teman-temanku yang pintar-pintar dari kota.

Dasarnya Lemah
Kenapa aku harus belajar keras untuk mengerti IPA dan Matematika ?
Aku tak pernah mengenal matematika sejak SD. Aku hanya belajar berhitung selama di SD. Ketika orang berebut sekolah terbaik untuk masuk SMP, aku belum bisa dipastikan akan menjutkan sekolah ke SMP atau tidak. Ayahku tak menginginkan aku melanjutkan sekolah. Ayahku hanya ingin anaknya memasuki pesantren seperti yang pernah dialaminya dulu. Aku adalah kebanggaannya di antara teman-teman ayah. Ayah ingin aku lebih baik dari dirinya. Ayah tak ingin anaknya mengikuti cara orang yang tak mengenal agama. Ayah ingin aku menjadi pemuka agama, bukan menjadi orang kantoran yang di mata beliau biasanya tak begitu baik dalam beribadah. Ya, begitulah ayahku. Beliau sangat sayang dan bangga padaku.
Berbeda dengan para famili ayah dan para tetangga yang juga mengetahui kalau aku anak yang cerdas, semuanya menyarankan aku disekolahkan. Tapi ayah bersikeras aku harus ke pesantren, titik. Sebagai anak aku tak bisa berbuat apa-apa. Anak-anak zaman itu seusiaku, apalagi di kampung, bukan hanya tak punya hak prerogatif atau memilih sekalipun bahkan bicarapun tak berani. Aku hanya menunggu keputusan dengan pasrah meski kalau boleh memilih aku mau sekolah. Sementara teman-teman yang lain mengurus pendaftaran dan persiapan seleksi. Aku, kesempatan masuk tanpa testpun berlalu begitu saja dihembus waktu yang tak mau menunggu.
Masa itu, di kampungku tak banyak orang yang sekolah sampai SMP. Dihitung dengan jari sebelah tanganpun tak habis. Apa lagi yang sekolah sampai SMA, hanya ada satu orang. Ada dua orang yang saat itu duduk di kelas dua Pendidikan Guru Agama (PGA) swasta. Berarti saat itu mereka setingkat dengan kelas dua SMP karena PGA adalah sekolah enam tahun sejak tamat SD. Setelah lulus akan menjadi guru agama di sekolah dasar. Merekalah yang bercerita pada ayahku kalau sekolah di PGA mirip dengan di pesantren. Di sana belajar bahasa Arab, Ilmu Fiqih, Ilmu Hadits, Tafsir, Tajwid, Tarikh, menulis huruf Arab dan lain-lain.
Mendengar masukan dari kiri-kanan dan melihat keinginanku sekolah, ayahku pun mengizinkan aku melanjutkan sekolah ke PGA di mana kepala sekolahnya adalah orang yang disegani ayahku, seorang tokoh di kota kecil Cicalengka saat itu.
Hari-hari kulalui dengan semangat dan bangga. Indah rasanya hidup seperti orang-orang. Anak kampung yang miskin bisa sekolah. Kualitas sekolahnya seperti apa, aku tak mengerti dan tak perduli. Bagiku yang penting sekolah. Aku suka sekolah, hanya itu yang ada di dalam fikiranku yang belum dewasa.
Pelajaran demi pelajaran tak ada yang sulit kuterima, semua mudah saja. Apalagi bahasa Inggris, dalam sekejap aku langsung menjadi sorotan guru. Tak ada matematika, yang ada berhitung, ilmu alam, bahasa Indonesia dan semua pelajaran yang kusebutkan tadi.
Seiring dengan berjalannya waktu, aku berkembang seperti bintang. Aku menonjol hampir di semua pelajaran padahal aku sendiri bosan, jemu, semua seolah berjalan lambat, tak menantang. Aku sangat dikenal di sekolah, disamping secara fisik mudah dikenali, prestasiku menonjol dan masuk ke dalam kelompok anak bandel. Anak yang setiap hari main basket di halaman yang terpaksa harus dibubarkan karena membuat berisik kepada kelas yang sedang belajar. Atau dihukum karena terlambat masuk setelah istirahat disebabkan main basket di lapangan yang jauh dari sekolah. Aku sering dihukum atas segala macam kenakalan tetapi aku tetap terbaik dalam pelajaran. Celakanya, segala pelanggaran yang dilakukan kolektif penyebanya adalah aku. Secara tak sadar aku menjadi pemimpin geng bandel. Suatu kondisi yang mungkin jarang terjadi, terbaik yang terbandel.
Menginjak tahun ketiga di PGA, ada sebuah keputusan pemerintah untuk mengurangi jumlah PGA menjadi hanya satu saja untuk satu kabupaten karena minimnya pengangkatan guru agama. Beberapa PGA terpaksa harus dilikuidasi, tak terkecuali sekolahku yang hanya sebuah PGA swasta. Sejak saat itu, kurikulum pelajaran harus berubah total dari kurikulum PGA menjadi kurikulum SMP. Aku yang tak pernah belajar matematika dipaksa harus mempelajari seluruh matematika SMP hanya di kelas tiga. Dan berbagai penyesuaian yang membuat sekolah kalang kabut dan seluruh anak muridnya kelabakan.Yang paling sulit adalah mengubah mind setting dari belajar ilmu-ilmu hafalan dan sangat ruhaniah menjadi belajar ilmu eksakta yang bagi kami masa itu adalah bullshit belaka. Sangat menjemukan dan sekali lagi, kami tak peduli. Apapun yang diberikan, benar atau salah cara gurunya mengajar, ditelan bulat-bulat. Ada guru yang tadinya mengajar ilmu hadits menjadi mengajar IPA karena tak ada lagi pelajaran hadits. Bisa dibayangkan betapa kacaunya. Aku yakin telah terjadi transformasi radikal di sekolahku, hanya aku belum begitu mengerti. Itulah sebabnya kenapa aku bisa ke SMA. Semua karena irodatNya. Jika Tuhan berkehendak, tak ada yang musykil terjadi.

Melawan Preman

Aku masih ingat, saat itu aku duduk di kelas dua. Aku sudah mulai aktif di OSIS. Bukan ketua apa-apa, tapi aktifis yang tak terlalu berani tampil. Dasarnya memang aku pemalu, mungkin bawaan turunan. Ya, nampaknya dari ayah yang introvert. Tapi terdorong oleh energi muda yang terus bergejolak, apapun aku ingin mencoba. Karena aktifitas itulah aku malam itu terlibat kepanitiaan takbiran Idul Fitri di Sekolah. Sejak siang aku turut berpartisipasi mempersiapkan segalanya. Beramai-ramai, ceria. Semua dilakukan dengan senang hati. Sore hari aku pulang untuk kembali malam harinya.
Aku memasuki gerbang sekolah sekitar jam delapan malam. Kudapati pintu gerbang dibuka setengah. Tak begitu jelas suara takbir yang mana yang keluar dari sekolah karena begitu ramainya suara bersahutan di udara mengumandangkan lantunan pujian yang sama. Malam itu adalah malam hari raya keagamaan, malam Idul Fitri.

Malam terasa sangat syahdu, dingin menerpa tapi itu biasa. Ketika aku masuk melewati pelataran panjang yang gelap temaram, lalu melewati ruang guru, aku melihat ada keanehan. Meski samar aku mencium adanya sosok-sosok manusia yang tak semestinya hadir di lingkungan sekolah. Apalagi dalam suasana sakral seperti ini. Ucapan kata-katanya, gerak-geriknya, jelas bukan teman-temanku. Mereka kasar dengan kata-kata kotor. Nampaknya beberapa dari mereka mabuk. Mereka kelayaban ke sana-sini dan saling terpisah satu sama lain. Ada yang berjalan di lorong-lorong sekolah, ada yang menuju arah ke luar dan entahlah serba tak jelas karena malampun cukup gelap. Setelah cukup mengamati, aku yakin kalau mereka ini adalah berandalan dari luar. Aku heran, kenapa tak ada yang melarang atau menertibkan. Aku bertanya pada salah satu teman yang hanya berdua berada di ruang sekretariat OSIS, kenapa ini dibiarkan ? Ini tak pantas, kataku. Aku tak mendapatkan jawaban.

Kulihat panitia yang lain tak ada di situ. Mungkin semua ada di aula, pikirku. Aku meminta teman yang lain untuk membujuk para pemabuk itu supaya tak berada di lingkungan sekolah. Tapi semua tidak mau, takut. Kenapa takut ?, pikirku. Kita kan banyak, sedangkan mereka cuma tiga atau empat orang saja. Mustinya kita bisa menghalaunya secara baik-baik. Tapi tak ada yang melakukan, mungkin para seniorku semua tidak mengetahui karena mereka berada di aula sedang takbiran.

Aku mengambil inisiatif mendekati salah seorang yang dekat denganku untuk tidak mabuk di lingkungan yang sedang takbiran ini. Kupilih kata-kata sebaik mungkin, sehalus mungkin, supaya tak menyingung orang itu dan menjadi marah. "Kawan, ini suasana takbiran, suasana keagamaan. Kami minta tolong, janganlah dicemari dengan mabuk di sini", kataku sambil berjalan mendampingi orang itu. Di luar dugaan, meski sudah kuperhitungkan kemungkinan itu, orang itu berbalik dan mendorongku. "Anjing ! Kamu anak baru,ya ? Dari dulu tidak ada yang berani melarang aku !", bentaknya. Aku menahan emosi, tak ada niatan untuk berkelahi. Aku mencobanya sekali lagi. " Aku minta tolong.. Aku tak melarang kalian mabuk, silakan itu hak kalian, tapi tolong jangan di lingkungan ini", kataku. "Tidak pantas, masa ada yang takbiran tapi ada yang mabuk", sambungku. "Hey, ini malam hari raya, tahu ? Aku berhak mabuk !", kata orang itu lagi semakin kasar dan menyandarkan aku ke tembok. Sekali lagi aku mencoba tenang. "Aku minta baik-baik..", ucapku dalam keterpojokan itu. Tapi apa yang terjadi, orang itu menjambak bajuku sambil menekanku ketembok dinding dan menekankan benda tajam ke leherku. Aku tak melawan, orang itu menekankan benda tajam ke leherku sambil terus berteriak mengancam dan juga memanggil-manggil temannya. Aku berfikir, apa yang harus kulakukan. Aku tidak takut tapi rada ngeri dengan pisaunya itu.

Sebelum temannya yang lain datang, aku sekalian menantangnya menuju lapang basket. " Oke, kalau tak bisa diajak baik-baik, lihat di sebelah sana ada lapangan basket. Ayo ke sana, aku akan hadapi kamu", tantangku. Untungnya preman saat itu masih menerima tantangan, tidak langsung tusuk begitu saja. Dia terus menekankan benda tajam ke leherku dan aku merasakan mulai sedikit perih. Aku giring dia secara jantan ke lapang basket. Tapi tiba-tiba beberapa orang seniorku menyamberku menarik ke aula sambil berteriak. " Agus ! Jangan !.. ". Aku di bawa ke aula. Rupanya ketika aku mulai berhadapan dengan preman itu, ada teman yang mengetahui dan lari ke aula untuk memberitahukan kepada para seniorku. Kulihat preman itu disuruh pulang oleh teman seniorku. Aku tidak puas. Akhirnya aku jadi emosi juga. Rupanya preman itu ke luar memanggil teman-temannya. Aku dinasehati kakak-kakak kelasku di luar aula bahwa mereka itu tak bisa dikontrol. Setelah pengawasan terhadapku mereda, aku kembali ke sekretariat dan menuju gerbang untuk memastikan kalau preman itu suah tak lagi di lingkungan sekolah. Ternyata mereka bertemu denganku di depan laboratorium. Salahsatunya yang tadi mengenaliku dan langsung mengepungku. Tidak banyak bicara lagi, perkelahianpun terjadi. Satu lawan empat. Ada rasa waswas berkelahi dikeremangan gelap dengan orang yang kutahu salah satunya membawa pisau. Tendangan dan pukulan kulancarkan sekenanya. Aku jaga terus jarak dengan mereka karena kuwaspadai yang membawa pisau. Beberapa menit berlangsung, ada beberapa teman yang lewat dan menemukan perkelahian itu langsung teriak melerai. Maka berlarianlah preman-preman pengecut itu.

Aku kembali ke aula dan berkumpul dengan teman-teman menceritakan kejadian. Aku tak ingat lagi siapa saja waktu itu yang ikut terlibat. Akhirnya salah seorang mengambil inisiatif memanggil Pak Madrana. Beliau adalah guru silat yang dituakan dan beruntung tinggalnya juga tak jauh dari aula. Dengan seksama beliau mendengarkan, lalu bersama beberapa senior ke luar dari lingkunagan sekolah menuju sarang para preman. Aku ditahan di aula supaya tidak ikut serta. Dan semua berjalan lancar hingga pagi menjelang. Tak ada lagi gangguan preman. Cerita teman-teman, preman itu sudah diancam oleh Pak Madrana apabila ada gangguan lagi atau besok lusa ada anak SMA10 yang diganggu maka siapa yang akan dikejar sudah diketahui.

Keesokan harinya, aku melaksanakan sholat Ied di sekolah dengan luka kecil di leher bekas tadi malam, menjadi lebih dramatis ketika obat merah mempertegas luka itu di leherku yang berkulit putih. Ketika bertemu Pak Asep, Kepala Sekolah, aku dipeluknya. Rupanya teman-teman yang mengetahui kejadian tadi malam sudah bercerita dengan Kepala Sekolah sehingga ketika aku datang, Pak Asep seolah sudah mengetahui dan memelukku. Agak terharu juga.


Jakarta, 23 Pebruari 2009